Error message

Deprecated function: The each() function is deprecated. This message will be suppressed on further calls in menu_set_active_trail() (line 2394 of /var/www/arsip.kemenkopmk.go.id/includes/menu.inc).
Oleh humas on March 06, 2020

Foto : 

  • Novrizaldi

Jakarta (5/3) -- Pemerintah saat ini tengah berupaya mewujudkan pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) unggul untuk mewujudkan Indonesia maju. Hal tersebut sesuai dengan visi besar Presiden Republik Indonesia Joko Widodo yaitu mewujudkan Indonesia maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian, berlandaskan gotong-royong.

Untuk mewujudkan visi besar tersebut pemerintah memulainya sejak awal kehidupan, yaitu dengan melakukan percepatan pencegahan stunting (anak kerdil). Presiden RI telah menginstruksikan percepatan pencegahan stunting dalam periode lima tahun ke depan (2020-2024) dengan target penurunan prevalensi stunting 14% di tahun 2024.

Salah satu langkah yang dilakukan pemerintah untuk melakukan perbaikan gizi dan mencapai target pengentasan stunting adalah dengan melakukan fortifikasi pangan atau pengayaan zat gizi mikro pada bahan makanan.

Garam menjadi bahan makanan yang dilakukan fortifikasi. Fortifikasi garam dilakukan untuk menambah gizi garam dengan zat iodium. Hal tersebut sesuai dengan amanat Kepres No.69 tahun 1994 tentang pengadaan garam beriodium yaitu garam yang dapat diperdagangkan untuk keperluan konsumsi manusia atau ternak, pengasinan ikan.

Saat ini, jenis garam yang menjadi perhatian pemerintah adalah garam indikasi geografis (IG). Garam IG adalah jenis garam yang digunakan untuk konsumsi, kecantikan dan industri dan tidak ditambahkan zat fortifikan karena akan mengurangi keasliannya. Garam IG turut berkontribusi dalam perokonomian masyarakat dan pengembangan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM).

Beberapa jenis garam IG yang ada di Indonesia adalah Garam Amed Bali, Garam Gunung Krayan, dan Garam Kusamba. Saat ini garam IG tersebut sudah dijual ke pasar skala internasional dan high end supermarket dengan harga jual yang tinggi dan berdampak terhadap pendapatan para petani garam di Bali dan Kalimantan Utara.

Namun sayangnya garam IG tidak termasuk dalam salah satu kluster garam yang terdapat dalam Permenperin Nomor 88/2014 tentang Peta Panduan Pengembangan Klaster Industri Garam.

Deputi Bidang Peningkatan Kesehatan Kemenko PMK Agus Suprapto menerangkan Garam IG memiliki pengaturan dan pengawasan khusus, tetapi hal ini bertentangan dengan Kepres 69/1994 tentang pengadaan garam beriodium. Hal tersebut juga bisa menyebabkan hambatan percepatan pencegahan stunting.

"Izin edar untuk garam IG, BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) membutuhkan payung hukum yang tepat agar tidak bertentangan dengan percepatan pencegahan stunting melalui fortifikasi garam," terang Deputi Agus dalam Rapat Koordinasi Teknis (Rakornis) membahas ruang peredaran Garam IG di Kantor Kemenko PMK, Jakarta, Kamis (5/3).

Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Reri Indriani menyampaikan alternatif yang bisa diterapkan pemerintah untuk mensiasati garam IG sebagai garam konsumsi. Keputusan peredaran Garam IG dilakukan dengan pengaturan pelabelan Garam IG, yaitu wajib mencantumkan informasi tidak beriodium dan tidak direkomendasikan untuk dikonsumsi oleh Ibu Hamil, Ibu Menyusui dan Balita.

"Penetapan produk IG selanjutnya yang merupakan produk yang ditetapkan sebagai media fortifikasi wajib selaras dengan ketentuan aspek keamanan dan mutu pangan, serta mempertimbangkan isu stunting di wilayah terkait," terang Reri.

Menindak lanjuti hasil rapat, Deputi Agus meminta kepada Kementerian Perindustrian (Kemenperin) untuk melakukan kajian kembali terhadap peraturan terkait garam agar aturan yang dihasilkan dapat dihasilkan dan dapat dijalankan.

Agus melanjutkan, penyempurnaan peraturan perundang-undangan terkait garam termasuk mengatur garam ig perlu dilakukan. Sehingga peraturan baru ini dapat menjadi acuan peredaran dan pengawasan garam di Indonesia.

"Perlu revisi Kepres 69/1994 dengan pemrakarsa Kementerian Perindustrian. Pelaksanaan revisi harus sesuai dengan peraturan yang ada. Sehingga tidak bertentangan dengan tujuan pemerintah dalam upaya perbaikan gizi dan tetap melindungi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM)," pungkas Agus Suprapto.

Turut Hadir dalam rakornis perwakilan K/L terkait yakni perwakilan dari Seskab, Kemenko Perekonomian, Kemenperin, Kemenkumham, Kemendag, Kemendagri, dan BPOM.

Kategori: 

Reporter: 

  • Novrizaldi